"Parlemen Online" vs Lembaga Parlemen

Posted by Counseling Students Association Sabtu, 01 Mei 2010 0 komentar

Hari-hari ini sebagian besar perhatian rakyat Indonesia, tak terkecuali di Kalbar, tersedot pada kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah (KPK) melawan kepolisian RI (dan pihak terkait lainnya). Rakyat, senang atau tidak, "dipaksa" untuk memberi perhatian pada kasus ini karena dua hal. Pertama, kasus ini membuka kebobrokan yang selama ini diduga terjadi pada institusi penegak hukum kita dan rakyat ingin institusi-institusi ini dibersihkan dari mafia-mafia hukum--meminjam istilah Presiden SBY. Kedua, media massa cetak dan elektronik yang hampir tiap detik mengabarkan perkembangan kasus ini sehingga penonton yang semula tidak tertarik, akhirnya mengikuti perkembangan kasus ini.
Dalam kasus ini (Bibit-Chandra vs Polri), ada dua hal yang paling menarik perhatian kita. Pertama, materi kasus, yakni persoalan penolakan tuduhan dan klaim kebenaran dari masing-masing pihak, baik Bibi-Chandra; Polri; Kejaksaaan maupun para saksi kunci: Anggodo, Ari Muladi, Susno Duadji, AH. Ritonga, Wisnu Subroto dan lainnya. Kedua, yang sangat fenomenal adalah lahirnya kekuatan baru, yakni kekuatan dunia maya yang menjadi semacam "parlemen online". Fenomena "parlemen online" ini telah menjelma menjadi kekuatan baru sebagai kelompok penekan (pressure group) dan penyalur aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Jaleswari Pramodhawardani, peneliti LIPI mengatakan bahwa "parlemen online" bahkan dinilai berhasil menjalankan fungsi parlemen sebenarnya dibanding anggota parlemen di Senayan (Kompas 6/11).
Dunia maya telah menggantikan kekuatan massa rakyat. Pada era silam, orang harus berkumpul untuk meruntuhkan kekuasaan. Lihat saja Ferdinand Marcos di Filipina tumbang; Soeharto yang 32 tahun berkuasa di Indonesia bisa runtuh. Dalam gerakan massa ini diperlukan "orang berpengaruh". Filipina butuh Kardinal Sin, reformasi Indonesia 1998 perlu Amien Rais, Abdurahman Wahid, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan para orator mahasiswa. Kini peoples power tidak perlu "orang berpengaruh". Mereka tidak perlu kordinator lapangan ataupun mencari sumbangan. Orang pun memakai Facebook dan Twitter dan situs jejaring social lainnya. Siapa yang kenal dengan pembuat "Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto"? Hampir 99 persen pendukung gerakan ini (sebelum Usman Jasin, pembuatnya, nongol di tv) tidak mengenal wajahnya dosen Universitas Muhamadiyah Bengkulu ini.
Sejak dibuat tanggal 29 Oktober 2009 sampai Senin pagi (9/11) telah 1,133,257 Facebookers mendukung Bibit dan Chandra. Artinya rata-rata perhari pendukung gerakan ini bertambah 94.438 orang. Jumlahnya akan terus bertambah. Saya setuju dengan Jaleswari bahwa melonjaknya partisipasi publik melalui Facebook, Twitter dan jejaring social lainnya menunjukkan bagaimana demokrasi dimanfaatkan publik sebagai sarana kebebasan mengekspresikan gagasan dan kemarahan, sekaligus merepresentasikan ketidakpuasan terhadap pertanggungjawaban politik elitenya. Para elite dimaksud menunjuk institusi penegak hukum seperti kejaksaan, peradilan, dan polisi yang dianggap angkuh dalam kekuasaan, tercermin dalam jargon "cicak lawan buaya" yang diperkenalkan Susno Duadji, seorang petinggi Mabes Polri.
Gerakan Facebookers pendukung Bibit-Chandra ini kasus kedua di Indonesia. Gerakan massa rakyat melalui dunai maya (peoples power online) yang pertama adalah dalam kasus Prita Mulyasari, penulis e-mail yang dipenjarakan Rumah Sakit Omni Internasional. Prita yang mendapat dukungan dari dunia maya kemudian dikeluarkan dari tahanan dan aparat yang bobrok ditindak.
Penguasa jangan meremehkan gerakan parlemen online ini. Kini Facebook dan Twitter, dua diantara beragam situs jejaring social, sedang digilai masyarakat Indonesia. Pengguna Facebook tercatat sekitar 11,8 juta dan Twitter 1,8 juta. Dua media ini sekarang mempunyai dampak besar di Indonesia. Dalam sekejap, sebuah pesan dapat menyebar kemana-mana; apalagi isunya sedang hangat. Siapa pengguna jejaring social ini? Menurut Wicaksono (Koran Tempo 7/11) mereka adalah berusia produktif 18-35 tahun, terdidik, berstatus social ekonomi menengah keatas dan akrab dengan internet. Mereka berseliweran di kampus, café, kantor dan tempat mentereng lainnya baik dengan laptop maupun handphone.
Parlemen online ini menggambarkan kemarahan rakyat terhadap para wakilnya. Mengutip pendapat sejumlah tokoh berpengaruh di tanah air, Kompas menulis dalam headlinenya " DPR melawan suara rakyat "(headline Kompas 7/11). Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan bahwa DPR tidak bisa lagi diharapkan mewakili suara rakyat. DPR malah menjadi pembela polisi. Ketika suara rakyat sudah begitu meluas, DPR seperti tidur. Tapi begitu mendengar penjelasan Kapolri, DPR seakan sudah mendengar kebenaran.
Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latif menilai DPR telah menentang arus besar rakyat, tidak kritis, dan pembela polisi. Mayoritas kekuatan DPR telah dipakai oleh kekuasaan. "DPR menunjukkan kepada publik secara telanjang bagaimana kualitas yang sesungguhnya,"kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang.
Seperti yang sudah diduga, penjelasan Kapolri di DPR yang secara tidak langsung ingin mendapat dukungan rakyat, ternyata sulit mengubah opini masyarakat tentang terjadinya kriminalisasi terhadap KPK. INi terbukti dengan terus meningkatnya dukungan terhadap Bibi dan Chandra melalui sejumlah aksi dan di jejaring sosial.
Kita tentu sependapat dengan Mahfud MD, Ketua MK agar penguasa jangan melawan arus kekuatan rakyat. "Siapa yang meremehkan gerakan rakyat akan tergilas. Kalau pemerintah tidak bisa memberi keadilan, rakyat akan mencari keadilan sendiri,"ujarnya.
Bagaimana dengan di daerah? Bagaimana DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota kita? Apakah mereka setali tiga uang dengan parlemen di Senayan? Apakah DPRD benar-benar menjalankan fungsinya atau sekedar tukang stempel kebijakan eksekutif? Mari kita membuktikannya bersama.[EvP]
Kekuatan Parlemen Online
Saat reformasi, kelompok masyarakat kelas menengah progresif lebih memilih turun ke jalan menggelar parlemen jalanan. Kini dukungan kelas menengah menjadi gerakan parlemen online.
Ketika reformasi bergulir pada 1998, masyarakat dan kelas menengah progresif (mahasiswa) menjadi sebuah kekuatan yang mampu menumbangkan rezim penguasa. Saat itu mahasiswa dan masyarakat memilih turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya.
Banyak kalangan menyebut aksi mereka sebagai parlemen jalanan mengingat parlemen legal (DPR) saat itu dinilai tak mampu menyuarakan aspirasi rakyat yang menuntut perubahan. Saat itu memang ada gesekan demokratisasi yang tengah mencari arah. Mahasiswa sebagai kelompok kelas menengah progresif memilih keluar terlebih dahulu dari kotak kenikmatannya selama Orde Baru.
Mereka seraya melakukan "investasi politik", yang hasilnya dinikmati di masa datang. Sementara kalau bertahan di kotak, hanya menjadi "konsumsi politik" yang akan lindap.
Jika saat itu banyak kelas menengah memilih turun ke jalan, maka akan berbeda situasinya dengan sekarang. Kini muncul pemikiran dan kesadaran kelompok masyarakat kelas menengah, khususnya di perkotaan dalam menyuarakan aspirasinya terhadap suatu isu. Sementara teori gerakan menyatakan harus terjadi efek bola salju. Kelas menengah sebagai poros perubahan secara sadar dilanda keterbatasan ruang dan waktu sehingga irisannya adalah silaturahmi interaktif dengan media internet.
Saat ini internet telah menjadi alat masyarakat untuk berkomunikasi secara efektif, efisien, dan ekonomis. Jauh lebih filosofis dari itu semua adalah keinginan dari para kaum pandai untuk berinteraksi dengan komunitasnya. Kelas menengah juga mulai menyadari bahwa kunci sukses rasionalitas politik ekonomi bangsa adalah meratanya penyebaran informasi publik menuju terciptanya komunitas informasi masyarakat yang sehat dan dewasa.
Dengan akses informasi yang cukup, masyarakat dapat memutuskan untuk berpikir mengikuti, mengabaikan yang remeh temeh, atau juga meluruskan yang bengkok. Hal inilah yang kini terjadi pada dukungan terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
Di mana dua tokoh KPK itu tak hanya mendapat dukungan moril dari aksi-aksi masyarakat di dunia nyata,tetapi juga di dunia maya. Lewat jejaring sosial Facebook misalnya, kelompok masyarakat kelas menengah memberikan dukungannya. Artinya, dukungan terhadap Bibit-Chandar tidak hanya di jalanan yang dilakukan masyarakat lewat parlemen jalanan, tetapi juga dilakukan kelompok masyarakat di dunia maya lewat parlemen online.
Para pemakai internet rata-rata masyarakat kelas menengah kota seperti pelajar, mahasiswa, dan pemuda terdidik lainnya. Mereka memiliki cara berpikir yang relatif bersih dari kontaminasi berbagai kepentingan. Tak heran suara mereka dalam dunia maya sangat jernih. Ini bisa kita cermati dalam tema-tema diskusi yang muncul.
Sebagai catatan, berdasarkan data Checkfacebook, situs yang mengamati perkembangan pengguna jejaring sosial Facebook, pada awal November 2009, pengguna Facebook asal Indonesia mencapai angka 11.759.980. Jumlah ini menempati peringkat ketujuh besar pengguna Facebook di dunia.
Dunia maya memang dunia yang sunyi. Orang beraktivitas di belakang layar komputer, laptop, atau belakangan ini ponsel Blackberry. Sunyi, tetapi punya daya tekan yang luar biasa. Ya, internet adalah dunia sunyi yang bisa menjadi sebuah kekuatan perubahan.
Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana seorang Prita Mulyasari, yang menulis protes pelayanan publik RS Omni International di sebuah e-mail yang disebar melalui jejaring sosial Facebook, akhirnya membuat "sibuk" pihak yudikatif. Aparat penegak hukum dinilai sewenang-wenang dan berlebihan menyikapi sebuah kritik seorang ibu (Prita).
Saat kasus Prita mencuat, para netters (sebutan untuk pelaku internet) menggalang dukungan, dan solidaritas itu terbangun dengan cepat. Melalui jejaring sosial Facebook lantas dibuat sebuah grup yang menggalang solidaritas kepedulian pada kasus Prita. Aksi itu akhirnya membentuk opini dan menjadi kelompok penekan yang efektif.
Prita pun bebas dari bui. Dukungan yang dilakukan kelas menengah terhadap sebuah isu --tanpa meminggirkan dukungan masyarakat biasa menunjukkan bahwa di manapun di dunia, kelas menengah merupakan kekuatan moral yang tangguh dan pasti mampu menggerakkan dan memberi warna masyarakat sipil (civil society).
Sejak memasuki era reformasi terjadi daya gerakan kemanusiaan, gerakan antiotoriterisme, gerakan memberdayakan wacana masyarakat sipil yang makin bermoral di mana kepeloporan gerakan tersebut berada di tangan kelas menengah dengan kesadaran yang jujur (etis) dan bukan mencari popularitas yang sifatnya sesaat.
Dukungan terhadap Bibit-Chandra yang kini terus bergulir membuktikan bahwa peranan kelas menengah sebagai penjaga demokrasi dan nilai-nilai moral (custodian of democracy and moral values) dalam masyarakat makin mencuat dan tetap eksis sebagai kekuatan moral. Kekuatan kontrol masyarakat saat ini membawa angin segar dalam wacana demokrasi.
Kekuatan moral (moral force). Kelompok masyarakat kini sudah menjadi satu kekuatan. Meski tidak menjadi organisasi terstruktur, kekuatan nonfisik ini memberi tekanan.
Fenomena Parlemen Online
Ribuan orang turun ke jalan untuk memberikan dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin. Bukan hanya di Bundaran HI Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain berbagai elemen masyarakat turun ke jalan untuk ”mengoreksi” langkah tidak bijaksana Kepolisian Republik Indonesia. Mereka turun ke jalan setelah mencium adanya ketidakadilan, adanya ”udang di balik karang” di mana seorang yang bukan siapa-siapa bisa mengatur para pejabat penegak hukum. Ketidakadilan kemudian bukan hanya menimpa Bibit dan Chandra, tetapi juga rakyat kebanyakan.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus Prita. Seorang ibu rumah tangga ini harus mendekam di tahanan yang diakibatkan oleh ketidakadilan yang menimpanya. Hukum telah digunakan bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk suatu kepentingan pribadi, institusi, dan mungkin juga untuk kekuasaan. Hukum di tangan penegak yang ambisius dengan segera berubah menjadi ”serigala” yang bisa memangsa apa pun. Hukum tanpa hati nurani dengan telanjang diperlihatkan dalam dua kasus tersebut, dan itulah sebabnya kenapa rakyat kebanyakan marah!
Tetapi kekuasaan yang secara telanjang diperlihatkan seperti itu tidak bisa lagi berjalan sesuai dengan skenario yang disusun sutradara. Para aktor utama, pendukung bahkan figuran ternyata tidak bisa menjalankan skenario secara sempurna. Kenapa ? Karena skenario itu bukan film untuk hiburan, tetapi untuk sesuatu nafsu tertentu, bahkan mungkin nafsu uang atau kekuasaan. Tokoh kunci Ary Muladi misalnya dengan kesadaran mencabut keterangan di BAP pertama. Kenapa ? Muncul kesadaran untuk tidak mau terjebak skenario kebohongan yang terus menerus.
Corgito ego sum. Saya berpikir maka saya ada. Filosofi inilah yang tampaknya melandasi sebagian besar dari logika masyarakat sehingga mereka pun mengkonstruksikan bahwa inilah memang yang disebut sebagai kriminalisasi KPK. Tanpa bisa dibendung lagi, dukungan mengalir begitu deras. Hanya dalam hitungan hari, dukungan dari facebookers melonjak di atas satu juta. Ini baru dihitung dari mereka yang biasa bermain komputer. Bagaimana perasaan jutaan manusia yang berpikir lainnya. Maka, para suporter di Komisi III DPR pun jadi bahan tertawaan.
Gelombang dukungan dari facebookers inilah yang kita sebut sebagai ”Parlemen Online” . Mereka memiliki jaringan karena kekuatan teknologi informasi. Pada kasus Prita, Bibit dan Chandra Hamzah daya tekan mereka luar biasa. Mereka memiliki energi berlebih di dalam sebuah jejaring yang tidak mungkin lagi bisa dibungkam oleh kekuatan kekuasaan mana pun. Jika aparat penegak hukum, politisi dan juga para pemimpin yang suka memamerkan kekuasaan secara telanjang, dengan sekejap mereka akan berhadapan dengan ”kekuatan lain” yang luar biasa.
Ada pepatah China yang mengatakan, ”Seberapa pun kuatnya kamu, tetap ada yang lebih kuat. Penggertak pasti akan dikalahkan oleh penggertak yang lebih besar”. Seberapa pun kekuatan kepolisian menentukan status seseorang, ternyata dikoreksi kekuatan yang lebih besar. Ada unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat, facebookers, Tim 8, dan sebagainya. Dan, pepatah juga mengatakan, ”Seorang Kaisar akan ingat pada jenderalnya yang baik ketika negara dalam bahaya.” Nah, apakah Presiden SBY saat ini sadar bahwa negara dalam bahaya ?

0 Responses so far.

Posting Komentar