Konseling Keluarga

Posted by Counseling Students Association Minggu, 22 Agustus 2010 0 komentar

A. Latar Belakang
Dalam mempelajari koseling keluarga tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana caranya memperoleh kehidupan yang penuh kasih sayang dan membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah. Sehingga orang melakukan pernikahan pun, tiada lain tujuannya adalah membuat ketentraman dan kenyamanan dalam hidup. Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah mengapa dalam pernikahan sering berakhir pada perceraian? Hal itu, terjadi karena ketidak cocokan si suami dengan istirinya, entah dari tujuannya, persepsinya tentang rumah tangganya atau yang lainnya. 
Perceraian yang hanya berakhir antara suami-istri, sebenarnya tidak terlalu kompleks permasalahannya. Yang paling rumit dari perceraian ketika meraka mempunyai anak. Karena yang harus di pertimbangkan adalah selain keadaan mereka masing-masing juga harus memikirkan tentang pengasuhan anak. Jika masalah pengasuhan tersebut berlarut-larut tidak terselesaikan maka psikologis seorang anak akan terganggu sehingga perkembangannya pun tidak akan normal.  
Selang beberapa waktu kemudian, sang ibu/ bapak membutuhkan pendamping lagi. Tak jarang dari mereka melakukan pernikahan lagi. Namun yang jadi masalah adalah terkadang pasangan (ibu/ bapak baru) tidak di sukai bahkan anak cenderung akan menolak kehadirannya. 
Adanya banyak persepsi tentang hal itu, yang diantaranya adalah karena anak-anak yang sudah berumur 4 tahun lebih sudah mengetahui aroma jalinan kasih dari asuhan bapak/ ibunya, sehingga sulit untuk mengalihkan perhantiannya pada orangtua tirinya. Seringkali pada anak yang beranjak remaja respons mereka terhadap perceraian sedikit berbeda dibandingkan dengan anak yang masih kecil. Biasanya mereka akan mengalami kecenderungan depresi, ketakutan, bertingkah membangkang terhadap lingkungan sekitar, merasa bersalah dan cenderung akan menyalahkan salah satu dari orangtua. Reaksi ini sangatlah wajar didapatkan. Sehingga ketika orangtuanya kawin lagi ia tidak mudah untuk menerima orang tua barunya (tiri). Sedangkan yang lainnya, adanya persepsi bahwa orang tua tiri kejam dan mempunyai cinta palsu. Banyak orang masih meng-iakan tentang kejahatan orangtua tiri, karena kebanyakan dari mereka hanya menggunakan topeng dalam bergaul dengan anak-anak tirinya. Tetapi yang perlu kita ingat bahwa tidak semua yang namanya orang tua tiri itu kejam dan cinta palsu. 

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh perceraian orangtua terhadap anak?
2. Bagaimana anak menghadapi orangtua baru (tiri)?
3. Bagaimana cara mengatasi anak yang lambat menerima orangtua baru

A. Pengaruh Perceraian Orangtua Terhadap Anak.
Merupakan sebuah keniscayaan bagi anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya, membutuhkan tali kasih kasih dari orangtuanya. Merekalah yang harus bertanggung jawab dalam melindungi anak, baik perlindungan secara fisik ataupun secara psikis. Kalau kedua aspek itu diayomi dan rawat sebaik munkin, maka anak akan tumbuh pada kematangan dalam perkembangan dan pertumbuhannya. 
  Keadaan seperti itu, tidak akan tercapai oleh kehidupan anak jika orangtuanya terlibat permasalahan internal. Misalnya terjadi perselisihan antara bapak dan ibunya. Tetapi, hal itu akan tercapai ketika orangtuanya, baik bapak ataupun ibunya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam membangun rumah tangganya. Sehingga jika tidak ada yang satunya tidak akan ada yang namanya kehidupan dalam rumah tangga. Dengan demikian terciptalah keluarga yang harmonis yang bisa mengantarkan pada kematangan perkembangan anak.
 Namun, yang sering muncul permasalahan adalah tak selamanya keseimbnagan dalam keluarga terjadi. Sering hanya gara-gara perkara kecil menjadi masalah besar yang tak jarang berakhir pada perceraian. Ketika terjadi perceraian itulah anak mulai kebingungan karena sering kebutuhan psikisnya tidak di penuhi. Kebingungan anak sering terletak pada kepemihakan anak. Anak harus memihak kepada siapa. Bapak atau ibu?
 Ketika anak mulai bisa mengindentifikasi dirinya dengan lingkungannya yakni ibu dan bapaknya. Pada waktu itulah anak mulai mengimitasi atau meniru tingkah laku orang yang disayangi. Jika itu sudah terbentuk, ketika anak harus pisah dengan orang yang disayangi, maka, akan berpengaruh terhadap psikologis anak. Namun besar-kecilnya akibat dari hal itu, tergantung pada hal-hal berikut:
a. sejauh mana keterikatan anak pada ibu/ bapaknya. Jika ia sudah terikat sungguhan maka, kepergian orang yang disayangi merupakan kejadian yang traumatis bagi anak.
b. Jenis kelamin, anak laki-laki misalnya akan mengidentifikasi tingkah laku ayahnya yang kemudian ia menirunya.
c. Waktu berpisah, anak yang masih di bawah umur 4 tahun masih sering tergantung pada ibunya dan masih belum bisa mengidentifikasi tingkah laku bapaknya. Jadi pada anak yang masih kecil kepergian bapak tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan anaknya.
d. Kekuatan pengasuh (bapak/ ibu) anak dalam menghadapi kejadian itu. Jika misalnya yang mengasuh adalah ibunya bisa mengatasi goncangan-goncangan yang terjadi dengan mudah, maka akibatnya bagi anak tidak begitu buruk . 
Sedangkan hal-hal yang mempengaruhi rasa aman dari anak ketika terjadi perceraian, sebagaimana yang dikutip dalam bukunya Singgih D. Gunarsa dan Yulia Singgih D. Gunarsah Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja adalah sebagai berikut:
a. kurangnya kasih sayang yang diterima oleh anak. Ketika terjadi perceraian, baik bapak mauapun ibu, sama mempunyai kebingungan dalam menentukan arah kehdupannya. Sehingga mereka mengurusinya masing-masing. Dampak dari itulah sering orang tua tidak lagi memberikan kasih sayangnya sperti semula pada anaknya.
b. Dominasi asuhan orang tua. Ketika orangtuanya cerai, mereka berlomba-lomba mempengaruhi anaknya, karena biasanya bapak atau ibunya tidak mau kehilangannya. Maka mereka mempengaruhinya dengan melebih-lebihkan gaya asuhannya. Pada waktu itulah, anak merasa tertekan dan bimbang.
c. Rumah tangga yang tidak stabil akibat perceraian akan mengakibatkan perasaan aman anak terganggu.
d. Ketika orang tua pisah, mereka terbebani pekerjaan double, sehingga sering dari mereka membuat aturan bagi anaknya yang cenderung terlalu keras. Sehingga anak tiak sebebas semula, disitulah keamanannya akan terganggu.
e. Terlalu memanjakannya. Sering dari orang tua yang baru saja melakukan cerai, mereka merasa bersalah pada anaknya sehingga sebagai tebusannya, mereka melakukan anaknya dengan berlebihan sehingga anak terbiasa dengan pola hidup manja. Inilah yang mengakibatkan sulitnya anak ketika dewasanya berperilaku mandiri.
B. Anak Tiri Menghadapi Orangtua Baru
Kembali pada paradigma berfikir, bahwasanya orang tua tiri itu kejam dan mempunyai rasa cinta palsu terhadap anak tirinya, walaupun tidak semua yang namanya orang tua tiri seperti itu. Namun, merejuk pada arah pemikiran itulah anak lebih cenderung menganggap bahwa orang tua tiri itu kejam, sehingga ia merasa kesulitan untuk menerima orang tua baru dalam hidupnya.
Perasaan anak tiri terhadap orang tua barunya tetap mencurigai kehadirannya, sekalipun mereka (orang tua tiri) bersikap lembut dihadapan anak. Pada waktu itu anak merasa tidak rela kalau kedudukan ibu/ bapaknya digantikan oleh orang lain. Ia lebih rela bila kedudukan ibu/ bapaknya itu tidak seorang pun yang menggantikannya .
Umumnya anak usia di bawah 2 tahun lebih mudah menerima kehadiran ibu/bapak baru, karena pola asuh dari ibu/bapak kandungnya belum begitu tertanam dalam dirinya. Penyesuaian akan lebih sulit dilakukan jika usia anak di atas 2 tahun, terlebih usia 4-5 tahun. Anak sudah mengenal pola asuh, gaya didik, nilai-nilai dan norma yang diterapkan orang tua sebelumnya. Ditambah lagi ada imeg bahwa orang tua tiri, terutama ibu tiri, itu galak, hingga anak pun merasa tak aman dan nyaman dengan kehadiran orang tua tiri. 
Terkadang ada orang tua tiri, ketika mereka sudah tidak sabar dalam menanti kesediaan anak tirinya untuk menerimanaya, mereka menggunakan kekuasaannya yang dalam kedudukannya lebih tinggi dari anaknya menggunakan aturan-aturan baru dalam rumah atangganya dengan dalih agar cepat mendapat ketenangan. Sehingga dengan adanya atiran-aturan itulah antara anak dan orang tua tirinya ada jurang pemisah yang sangat lebar. Dan kebanyakan anaklah yang sering tersisihkan dari pada orang tua tirinya.
Dengan deadaan seperti itu biasanya anak dapat kita lihat dari dua kemunkinan yaitu: Pertama, anak itu melwan dengan perlawanan anak yang membela ibu/ bapaknya yang lama dan kedua, menarik diri dari tali percintaan orang tuanya itu, yang seakan-akan berlindung pada bapak/ ibunya yang sebenarnya . Kedua keadaan itu dilakukan dalam angan-angannya mauapun dalam perbuatannya. Inilah gangguan yang dialami anak tiri yang tampak pada kualitas kerjanya ataupun di sekolahnya. 
C. Cara Mengatasi Anak Yang Lambat Menerima Orangtua Baru
Bentuk protes anak tiri ketika berkumpul dengan orang tua barunya sangat bermacam-macam sekali, sering ada yan ngompol lagi padahal sebelumnya ia sudah tidak terbiasa ngompol. Ada juga yang mogok makan dengan berbagai alasan dan sebagainya. Pada waktu itulah kondisi psikologis anak terganggu.
Kondisi psikologis ini tak hanya membuat anak sulit menerima kehadiran ayah/ibu barunya, tapi juga si orang tua baru sulit masuk dalam kehidupan si anak. Tugas orang tua barulah untuk melakukan pendekatan dengan si anak. Namun dalam bersikap, baik selagi melakukan pendekatan maupun setelah jadi ayah/ibu tiri, "hendaknya ayah atau ibu tirinya tak over acting ataupun dibuat-buat tapi tulus. Kalau tidak, kesannya jadi tak wajar dan anak pun takkan suka. Selain itu, ibu/bapak tiri pun harus memperhatikan sifat dan karakter anak, karena tiap anak berbeda. Lalu bagaimana seharunya sikap orang tua tiri dalam menghadapi anak tirinya yang belum bias menerimanya. Lakukan hal-hal berikut dengan penuh kesabaran.
c.1. Beri Penjelasan 
Jika ayah/ibunya dulu begitu memanjakan anak, maka begitu mendapatkan ibu/ayah tiri yang disiplin, akan terjadi benturan. Misal, dulu anak tak pernah tidur siang, tapi kini harus tidur siang. Perubahan ini membuatnya tak nyaman. Apalagi bila si orang tua tiri juga menerapkan sistem hukuman bila anak melanggar aturan. Dari sinilah anak lantas beranggapan bahwa orang tua tiri itu galak/jahat. 
Tentu saja, orang tua tiri tak salah bersikap tegas maupun menerapkan aturan-aturan baru yang berbeda. Yang penting, itu semua disampaikan kepada anak secara lembut dan disertai penjelasan yang dapat diterima si anak. Misal, "Kamu, kan, dari tadi sudah banyak main. Nah, sekarang giliran istirahat. Kalau kamu terus-menerus bermain, nanti kamu capek dan bisa sakit. Kalau sakit, kan, jadi enggak bisa main lagi. Yuk, Tante temani tidur siang sambil Tante bacakan buku cerita." 
Atau, anak menolak tidur siang lantaran ingin nonton film kesayangannya di TV. Sebaiknya orang tua tiri tak memaksa, melainkan bujuk ia dengan membuat sebuah komitmen bersama. "Misal, ia boleh menonton film tapi setelah itu harus tidur”. Dengan demikian, selain ia bisa tetap nonton, aturan yang kita buat pun terlaksana. Hingga, konflik antara anak dengan orang tua tiri bisa diminimalisir. 
Begitu pun bila orang tua tiri menolak suatu permintaan anak, harus disertai penjelasan yang bisa diterima pikiran anak. Dengan demikian, anak akan mengerti mengapa ia dilarang atau ditolak permintaannya, bukan lantaran orang tua tiri itu galak/jahat. 
c.2. Tak Usah Marah 
Tak jarang, anak akan membanding-bandingkan orang tua tiri dengan orang tua kandungnya. Meski kesal, tak perlu marah. Jelaskan saja bahwa tiap orang berbeda, termasuk dirinya juga tak sama dengan teman-teman sebayanya. Kemudian, bila memang ada hal-hal baik dari orang tua si anak, tak ada salahnya orang tua tiri mencontoh dan menerapkannya pada anak. Intinya, orang tua tiri harus bersikap terbuka untuk memberikan yang terbaik bagi anak.
kalau anak tetap keras dan sulit menerima kehadiran orang tua tiri, tak usah "panas". Lebih baik, cari penyebabnya mengapa si kecil tetap menolak. Caranya, lakukan observasi dan cari informasi pada pasangan tentang hal-hal yang disukai dan tak disukai anak, serta apa yang harus dilakukan agar si anak tetap tak merasa kehilangan momen indah bersama orang tuanya dulu. Mungkin anak menginginkan ayah atau ibu tirinya seperti orang tuanya dulu. 
c.3. Perlakukan Sama 
Satu hal diingatkan Romi, jangan sekali-sekali orang tua tiri meminta anak memanggil dirinya dengan sebutan Mama/Papa atau Ayah/Bunda. Biarkan anak yang menentukan, apakah sudah layak panggilan tersebut diberikan pada orang tua tirinya. Selain itu, untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang anak, jangan pernah membanjirinya dengan hadiah. Kasih sayang anak tak dapat dibeli, melainkan harus timbul dengan sendirinya. Lebih baik lihat apa yang dibutuhkan anak, semisal kebutuhan kasih sayang, dibelai, atau berteman. Nah, dari situlah orang tua tiri masuk.
Bila orang tua tiri juga membawa anak, tentu si anak tiri bukan hanya harus beradaptasi dengan orang tua barunya tapi juga saudara barunya. Ini jelas tak mudah buat anak. Hingga, orang tua baru harus memperhitungkan betul segala sikap dan tingkah lakunya terhadap kedua anak ini. Jangan sampai orang tua tiri lebih mementingkan anak kandungnya. Semua anak harus mendapatkan perlakuan yang sama. 
Memang, sangat manusiawi jika orang secara naluriah terbawa untuk lebih memperhatikan anak kandungnya. Untuk itu, diperlukan komitmen yang kuat sejak awal oleh suami-istri baru yang masing-masing punya anak ini bahwa masing-masing harus memperlakukan sama kepada semua anak. Jadi, harus ada kesepakatan dan tak boleh dilanggar.
  c.4. Berkomunikasi yang Baik
Antara ibu/ bapak tiri dan anak tiri harus ada komunikasi yang baik. Tanpa komunikasi yang baik, hubungan tidak akan terjadi, sehingga tidak adanya pendekatan dan penerimaan dari anak tiri tersebut. Komunikasi bias dilakukan dengan dua macam yaitu, komunikasi verbal dan nonverbal . Komunikasi verbalAdalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan dengan menggunakan kata-kata atau lisan. 
Sedangkan komunikasi non verbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi non verbal adalah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.
Ibu tiri harus bisa berkomunikasi dengan anak tirinya dengan cara verbal dan non verbal. Berlaku sopan, menghargai anak tiri, menyayangi seperti anak kandung sendiri dan tidak pilih kasih atau berlaku adil terhadap anak-anaknya yang lain. Tidak seperti ibu tiri yang ada di film-film, tetapi benar-benar mengasihi anak tiri sama terhadap ayah anak tersebut, tidak berpura-pura mengasihi anak tiri hanya di depan ayah anak tersebut. Sehingga anak tiri dapat menerima ibu tiri mereka sebagai ibu kandung mereka.

A. Kesimpulan
1. besar-kecilnya akibat dari hal itu, tergantung pada hal-hal berikut:
 a. sejauh mana keterikatan anak pada ibu/ bapaknya. Jika ia sudah terikat sungguhan maka, kepergian orang yang disayangi merupakan kejadian yang traumatis bagi anak.
 b. Jenis kelamin, anak laki-laki misalnya akan mengidentifikasi tingkah laku ayahnya yang kemudian ia menirunya.
2. Pertama, anak itu melwan dengan perlawanan anak yang membela ibu/ bapaknya yang lama dan kedua, menarik diri dari tali percintaan orang tuanya itu, yang seakan-akan berlindung pada bapak/ ibunya yang sebenarnya
3. cara menghadapi anak tiri yang belum bias menerima orang tua tirinya, sebagai orang tua harus bersikap sebagai berikut:
a. berkomunikasih yang baik dengan anak tirinya
b. berilah penjelasan sebaik dan selembut munkin terkait kehadirannya.
c. jika anak tirinya sulit diatur, jangan mudah marah
d. jika orang tua tiri juga membanwa anak, perlakukan secara wajar dan sama antara anak asli dan anak tirinya.

Daftar Pustaka
Gunarsa, Singgih D. dan Yulia Singgih D. Gunarsah. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia.
Sujanto, Agus DKK. 1993. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara.
Dagun, Save M. 1989. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/11/05

0 Responses so far.

Posting Komentar